Puasa Asyura’ “Puasa penghapus dosa satu tahun sebelumnya”

Puasa Asyura’

“Puasa penghapus dosa satu tahun sebelumnya”

oleh Hasbi Nur P.W*

Salah satu puasa yang dianjurkan pada bulan diantara bulan- bulan yang dimuliakan yaitu bulan Muharram tepatnya puasa pada tanggal 9, 10, dan 11. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah bersabda ,” Sebaik-baik ibadah puasa setelah puasa Ramadhan adalah puasa di bulan Muharram”.

A.        Dalil tentang Puasa Asyura’

Puasa Asyura’ ini adalah puasa pada hari ke-10 di bulan Muharram. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah berpuasa pada hari Asyura’ ini yaitu berdasarkan hadist yang diriwayatkan oleh imam Bukhari dan Muslim, yaitu “ Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma, bahwasannya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah berpuasa pada hari Asyura’ dan beliau memerintahkan ( para shahabat ) untuk berpuasa pada

Keutamaan bagi orang yang mengerjakan puasa ini yaitu akan dihapuskan dosa 1 ( satu ) tahun sebelumnya. Hal ini berdasarkan hadist,

وعن أبي قتادة رضي الله عنه أن ورسول الله صلي الله عليه وسلم سإل عن سيام يوم عشراء, فقال:يكفرالسنة الماضية.( روه مسلم)

“Dari Abu Qotadah Radhiyallahu’anhu bahwasannya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah ditanya tentang puasa hari Asyura’, Beliau menjawab,” Dapat menghapuskan dosa 1 tahun sebelumnya.” ( HR. Muslim no 1162).

Memang puasa ini berbeda pada puasa bulan sebelumnya yaitu puasa Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah. Berbeda dari sisi keutamaannya, jika puasa Arafah memiliki keutamaan dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang. Hal ini berdasarkan hadist Abu Qotadah Radhiyallahu ‘Anhu bahwasannya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah ditanya tentang puasa Arafah. Beliau menjawab,” Akan menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang. Jadi puasa Arafah ini dapat menghapus dosa selama 2 tahun. Dan jika dibandingkan dengan puasa Asyura’, sebagaimana hadist yang telah disebutkan di awal, bahwa puasa ini akan menghapuskan dosa satu (1) tahun yang lalu saja. Tentunya dari sisi pahala juga berbeda, pahala puasa Asyura’ tidak sebanyak pahala puasa Arafah sehingga dari sisi pelaksanaannya, puasa Asyura’ seharusnya disertai puasa pada hari kesembilannya.

B.        Tata Cara Pelaksanaan Puasa Asyura’

Dalam hal ini sebagian para ulama seperti Ibnu Qayyim Rahimahullah membagi tata cara pelaksanaan puasa Asyura’ itu menjadi 3 macam atau tingkatan:

1.         Berpuasa pada tanggal 9 ( Sembilan ) dan 10 ( sepuluh ) Muharram. Dan inilah jenis puasa yang paling utama.

Perlu dijelaskan disini bahwa puasa pada tanggal 9 Muharram, berdasarkan hadist Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah bersabda,”

وعن ابن عباس رضي الله عنهم قال: قال رسول الله صلي الله عليه وسلم: لإن بقيت إلي قابل لاًصومن التاسع ( روه مسلم)

Artinya:”Apabila aku masih hidup sampai tahun depan, maka aku juga akan berpuasa pada tanggal sembilannya (Muharram)” ( HR. Muslim no. 1134 ). Maksud beliau adalah akan berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram. Beliau juga memerintahkan untuk berpuasa satu hari sebelumnya dan satu hari setelahnya untuk menyelisihi puasanya orang-orang Yahudi. Orang-orang Yahudi biasa berpuasa pada tanggal 10 ( sepuluh ) ( hari Asyura’) saja. Karena pada tanggal itulah Nabi Musa ‘Alaihissalam dan kaumnya diselamatkan dari kejaran Fir’aun. Dan pada hari itu juga ditenggelamkan Fir’aun dan tentaranya. Orang-orang Yahudi berpuasa pada tanggal 10 ini sebagai bentuk rasa syukur mereka kepada Allah karena telah menyelamatkan Nabi Musa ‘Alaihissalam dan kaumnya serta menghancurkan Fir’aun dan tentaranya. Sehingga bagi mereka kejadian ini merupakan nikmat yang diaunegerahkan Allah kepada orang-orang Yahudi.

Ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pertama kali tiba di kota Madinah, beliau mendapati orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura’.

Kemudian beliau bertanya kepada mereka tentang puasa tersebut. Orang-orang Yahudi menjawab,” Karena pada hari itu Allah Ta’ala telah menyelamatkan Nabi Musa dan Kaumya dan membinasakan Fir’aun dan tentaranya. Kami berpuasa pada hari ini sebagai rasa syukur kami kepada Allah”.

Kemudian Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,”

نحن أولي بموس منكم

Artinya: “Kami lebih dekat dengan Nabi Musa daripada kalian” ( Shahih Al Bukhari, hadist no. 3943, 4737 dan Shahih Muslim, hadist no. 1130 dari hadist Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma)

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan orang-orang yang beserta beliau lebih dekat hubungannya dengan para nabi sebelumnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang Artinya “ Sesungguhnya orang yang paling dekat dengan Ibrahim ialah orang-orang yang mengikutinya dan Nabi ini ( Muhammad ), beserta orang-orang yang beriman ( kepada Muhammad), dan Allah adalah pelindung semua orang-orang yang beriman,” ( QS. Ali Imran: 68 )

Jadi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lebih dekat hubungannya dengan Nabi Musa dari pada orang-orang Yahudi. Karena orang-orang Yahudi adalah orang-orang kafir. Kemudian Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berpuasa pada hari itu dan memerintahkan para shahabat untuk berpuasa. Dalam prakteknya beliau memerintahkan untuk menyelisihi puasanya orang-orang Yahudi yang hanya berpuasa pada tanggal 10 Muharram saja. Meskipun beliau belum sempat melaksanakan puasa pada tanggal 9, apa yang telah beliau sabdakan tentang keinginan beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk berpuasa pada hari sebelumnya, sudah menunjukkan perintah beliau kepada kaum muslimin untuk menambahkan puasa pada tanggal 9 Muharram dalam rangka menyelisihi orang-orang Yahudi yang berpuasa pada tanggal 10 saja.

2. Berpuasa pada tanggal 10 dan 11 Muharram. Jenis puasa ini berada di bawah tingkatan jenis pertama.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam menyelisihi puasanya orang-orang Yahudi, beliau juga pernah memerintahkan untuk berpuasa pada tanggal 11 Muharram. Sebagaimana dalam sebuah hadist Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,

صُومُوا يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَخَالِفُوا فِيهِ الْيَهُودَ صُومُوا قَبْلَهُ يَوْماً أَوْ بَعْدَهُ يَوْماً

“Bershaumlah kalian pada hari ‘Asyura, dan selisihilah kaum Yahudi. Bershaumlah sehari sebelumnya atau sehari setelahnya.” [HR. Ahmad 1/241, Ibnu Khuzaimah 2095]. Jadi tingkatan yang kedua bisa berpuasa pada tanggal  10 dan 11 Muharram.

3.         Berpuasa hanya pada tanggal 10 Muharram saja. Sebagian para ulama memakruhkan puasa jenis ini karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan untuk menyelisihi orang-orang Yahudi. Dan sebagian para ulama ada yang memberikan keringanan/ membolehkan untuk berpuasa pada tanggal ini saja.

Jadi dalam pelaksanaan puasa Asyura’ ini terdapat 3 tingkatan, bisa kita berpuasa pada tanggal 9 dan 10, tanggal 9 dan 11, serta tanggal 10 saja. Tetapi diantara 3 tersebut yang paling Afdhol ( utama ) adalah puasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram.

C.        Pertanyaan-Pertanyaan seputar Puasa Asyura’

Pertanyaan, “Apakah Harus mengqadha` Shaum ‘Asyura yang Terlewatkan ?
Dalam hal ini Syaikh Al Utsaimin Rahimahullah menjelaskan dalam Liqa’atil Babil Maftuh bahwa  Apabila seseorang tertinggal dari shaum ‘Arafah dan shaum ‘Asyura` tanpa ada udzur, maka tidak diragukan lagi ia tidak perlu mengqadha`, dan tidak ada manfaatnya kalau pun dia mengqadha`. Adapun jika terlewat pada seseorang (puasa tersebut) dalam kondisi dia ada ‘udzur, seperti perempuan haidh, nifas, atau orang sakit, maka dia juga tidak perlu mengqadha`. Karena itu khusus pada hari tertentu, hukumnya hilang dengan berlalunya hari tersebut.

Pertanyaan,” Apakah boleh menampakkan kegembiraan atau kesedihan pada hari ‘Asyura?

Syaikh juga menjelaskan,“Adapun hari ‘Asyura`, sesungguhnya Nabi shalallahu’alaihi wa sallam ditanya tentang shaum pada hari itu, maka beliau menjawab : “Menghapuskan dosa setahun yang telah lewat.” Yakni tahun sebelumnya. Tidak ada pada hari tersebut sedikitpun syi’ar-syi’ar hari perayaan (’Id). Sebagaimana pada hari tersebut tidak ada sedikitpun syi’ar-syi’ar hari perayaan (’Id), maka juga tidak ada pada hari tersebut sedikitpun syi’ar-syi’ar kesedihan. Maka menampakkan kesedihan atau kegembiraan, keduanya sama-sama menyelisihi sunnah. Tidak ada riwayat dari Nabi shalallahu’alaihi wa sallam tentang hari ‘Asyura tersebut kecuali melakukan shaum, di samping juga beliau shalallahu’alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk bershaum juga sehari sebelumnya, atau sehari setelahnya agar kita berbeda dengan Yahudi yang mereka biasa bershaum pada hari itu saja.” (Majmu’ Fatawa Ibni ‘Utsaimin II/231)

D.        Penyimpangan-Penyimpangan Seputar ‘Asyura’

Yaitu tentang perayaan yang  dilakukan oleh orang-orang syiah Rafidhah. Mereka menganggap hari tersebut sebagai hari kesedihan ( Yaumul Huzn) atas kematian Husein di Tanah Karbala. Mereka melakukan perbuatan-perbuatan yang menunjukkan ungkapan kesedihan mereka seperti memukul mukul diri mereka sendiri atau menyiksa diri mereka sendiri terkadang sampai berdarah-darah sebagaimana video yang sudah banyak beredar sekarang ini.  Dan ini jelas-jelas perbuatan batil dan menyimpang.

Dan sebagian masyarakat kita ada yang masih menganggap bulan Muharram ( Istilah orang jawa disebut Suro ) ini sebagai bulan keramat sehingga mereka takut sial atau takut terjadi bencana jika mengadakan acara-acara di bulan ini seperti acara hajatan, pesta dsb. Tentunya hal semacam ini tidak benar.

Sudah sepantasnya kita menerima dan mengikuti ajaran yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yaitu menjadikan Al Qur’an dan Hadist Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang Shahih, beserta Ijma’ salafushalih sebagai pedoman. Jika memang ajaran – ajaran tersebut tidak sesuai dengan syariat ( perbuatan menyimpang ) mari kita tinggalkan.  Banyak sekali dalil – dalil yang menunjukkan agar kita selalu berpegang teguh kepada Al Qur’an dan As Sunnah. Dalam sabdanya Beliau  Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah memberi nasehat: “Dari sahabat ‘Irbadh bin As Sariyyah rodiallahu’anhu ia berkata: Pada suatu hari Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam shalat berjamaah bersama kami, kemudian beliau menghadap kepada kami, lalu beliau memberi kami nasehat dengan nasehat yang sangat mengesan, sehingga air mata berlinang, dan hati tergetar. Kemudian ada seorang sahabat yang berkata: ‘Wahai Rasulullah, seakan-akan ini adalah nasehat seorang yang hendak berpisah, maka apakah yang akan engkau wasiatkan (pesankan) kepada kami?’ Beliau menjawab: ‘Aku berpesan kepada kalian agar senantiasa bertaqwa kepada Allah, dan senantiasa setia mendengar dan taat (pada pemimpin/penguasa, walaupun ia adalah seorang budak ethiopia, karena barang siapa yang berumur panjang setelah aku wafat, niscaya ia akan menemui banyak perselisihan. Maka hendaknya kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafa’ Ar rasyidin yang telah mendapat petunjuk lagi bijak. Berpegang eratlah kalian dengannya, dan gigitlah dengan geraham kalian. Jauhilah oleh kalian urusan-urusan yang diada-adakan, karena setiap urusan yang diada-adakan ialah bid’ah, dan setiap bid’ah ialah sesat.’” (Riwayat Ahmad 4/126, Abu Dawud, 4/200, hadits no: 4607, At Tirmizy 5/44, hadits no: 2676, Ibnu Majah 1/15, hadits no: 42, Al Hakim 1/37, hadits no: 4, dll)
Sumber Pustaka :

  • Shahih Bukhari dan Muslim
  • Mukhtashor Riyaadhush Shaalihiin. Penulis Imam Nawawi. Edisi Bahasa Indonesia: Ringkasan Riyadhus Shalihin
  • Syarah Riyadhus Shalihin Jilid 3. Penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin.

sumber : belajarislam.com

Tinggalkan komentar